Senin, 18 Februari 2013

Muatan Etika dalam Pengajaran Akuntansi Keuangan dan Dampaknya terhadap Persepsi Etika Mahasiswa

http://jrai-iai.org/home/index.php/catalogue/articles/285-muatan-etika-dalam-pengajaran-akuntansi-keuangan-dan-dampaknya-terhadap-persepsi-etika-mahasiswa-studi-eksperimen-semu

International Federation of Accountants (IFAC) pada tahun 2008 menerbitkan delapan standar pendidikan internasional (International Education Standards/ IES). Dari delapan standar tersebut, standar nomor 4 (IES 4) menyebutkan bahwa program pendidikan akuntansi sebaiknya memberikan rerangka nilai, etika, dan sikap profesional untuk melatih judgement profesional calon akuntan sehingga dapat bertindak secara etis di tengah kepentingan profesi dan masyarakat. Terbongkarnya kasus Enron Corp. pada tahun 2001 dan kasus-kasus perusahaan besar lainnya yang terlibat dalam praktik manajemen laba memberikan kesadaran tentang pentingnya peran dunia pendidikan dalam menciptakan sumber daya manusia yang cerdas dan bermoral. Pendidikan akuntansi pada jenjang strata satu (S1) pada umumnya hanya mengajarkan etika terkait profesi akuntan pada mata kuliah pengauditan (auditing). Padahal isu etika tidak hanya terkait pada masalah pengauditan, tapi juga berhubungan dengan penyusunan laporan keuangan. Kasus kecurangan akuntansi (accounting fraud) terjadi karena adanya praktik manajemen laba yang dilakukan dengan cara memanipulasi laporan keuangan. Oleh karena itu, anak didik (mahasiswa) perlu diperkenalkan tentang isu-isu etika yang terkait dengan penyusunan laporan keuangan. Mata kuliah yang terkait dengan penyusunan laporan keuangan tercakup dalam kelompok akuntansi keuangan, yang meliputi akuntansi pengantar, akuntansi keuangan menengah dan lanjutan, serta teori akuntansi. Penguasaan standar, metode, dan teknik akuntansi oleh para lulusan sangat penting karena akan terkait langsung dengan kemampuan dalam penyusunan laporan keuangan. Pentingnya isu etika dimasukkan sebagai bagian dalam materi ajar akuntansi keuangan juga dikarenakan adanya fakta bahwa sebagian besar (45%-55%) sarjana akuntansi bekerja sebagai akuntan manajemen atau perbankan, sedangkan yang bekerja di kantor akuntan publik hanya berkisar 2%-4%. Penelitian tentang kecukupan muatan etika dalam pendidikan akuntansi dilakukan oleh Wulandari dan Sularso (2002). Penelitian dilakukan di Surakarta dengan sampel mahasiswa dan akuntan pendidik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 84,38% (dari 192 responden) menyatakan kurikulum program studi akuntansi belum cukup memberikan muatan etika untuk bekal mahasiswa terjun ke dunia kerja. Untuk responden yang menyatakan tidak cukup muatan etikanya menyarankan agar:
(1) diperluas dengan mengintegrasikan ke mata kuliah tertentu (46,9%), (2) diperluas dengan mengintegrasikan ke semua mata kuliah (29,01%), dan (3) ditambah sebagai mata kuliah tersendiri (18,52%), dan (4) pendapat lain (5,56%). Hasil penelitian Ludigdo dan Machfoedz (1999) juga mengungkapkan muatan etika dalam kurikulum pendidikan akuntansi belum cukup dan sebagian besar responden menyarankan untuk mengintegrasikan ke mata kuliah tertentu. Berdasarkan pada hasil riset Wulandari dan Sularso (2002), serta Ludigdo dan Machfoedz (1999) tersebut, maka peneliti termotivasi untuk mengkaji aspek etika yang diintegrasikan dalam materi ajar akuntansi keuangan. Pentingnya muatan etika pada kelompok mata kuliah akuntansi keuangan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa masalah kecurangan akuntansi (accounting fraud) banyak dilakukan oleh perusahaan terkait dengan pelaporan keuangan. Loebs (1989) mengungkapkan bahwa sebagian besar jurusan akuntansi menyajikan materi pengajaran etika sebagai bagian dari setiap mata kuliah akuntansi, bukan sebagai mata kuliah tersendiri atau terpisah. Menurut McNair dan Milan (1993) yang dikutip oleh Wulandari dan Sularso (2002) juga menyatakan bahwa dari 202 profesor yang menjadi respondennya, mayoritas cenderung untuk memasukkan materi etika dalam mata kuliah akuntansi pokok. Molyneaux (2004) melakukan eksplorasi tentang pendekatan yang bisa digunakan untuk mengenalkan etika pada jenjang strata satu (S1), menyimpulkan bahwa pendekatan “capstone course” yang dipakai oleh Carroll (1998) dinilai menarik dan inovatif. Capstone course adalah pendekatan yang mengintegrasikan isu etika pada semua mata kuliah yang ada dalam kurikulum akuntansi. Di Indonesia, ada kecenderungan bahwa dosen lebih mengfokuskan pada penguasaan standar dan metode akuntansi, namun sangat kurang dalam membahas (mendiskusikan) isu-isu etika. Padahal dalam beberapa buku teks akuntansi terdapat kasus-kasus yang mengangkat isu atau dilema etis. Jika dosen melakukan integrasi kasus etika tersebut ke dalam materi ajar akuntansi keuangan, maka dapat diharapkan mahasiswa menjadi peduli terhadap isu-isu etika dan kemudian mampu menentukan sikap. 


Memang sudah seharusnya setiap profesi yang memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat harus memiliki kode etik yang merupakan seperangkat moral-moral dan mengatur tentang etika professional, sehingga tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh profesi akuntan tersebut baik itu masyarakat atau pun pihak akuntan lainnya. Islam juga sudah memberikan sebuah warning berupa berita akan banyaknya para akuntan yang akan masuk kedalam neraka dikarenakan prilaku mereka yang tidak jujur dan memanipulasi dalam menyajikan laporan keuangan. 

Oleh karena itu, tanggungjawab akuntan profesional bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan klien atau pemberi kerja, tetapi bertindak untuk kepentingan publik yang harus menaati dan menerapkan aturan etika dari kode etik. Untuk itu diharapkan bagi para pengajar mata kuliah akuntansi untuk selalu memberikan pembelajaran kepada para mahasiswa akan pentingnya etika bagi profesi akuntan. Sehingga diharapkan ketika mahasiswa telah lulus kuliah mereka sadar dan sudah paham bahwa para penyandang gelar akuntan harus mentaati kode etik profesi akuntan serta mempunyai attitude yang baik ( berakhlakul karimah ). 

sumber : http://jrai-iai.org/home/index.php/catalogue/articles?start=20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar